Dr. Krisna Harahap membagi periode perkembangan pers di Indonesia menjadi lima, yaitu :
1) Era Kolonial sampai dengan tahun 1945.
2) Era demokrasi Liberal, tahun 1949 - 1959.
3) Era Demokrasi terpimpin, tahun 1959 - 1966.
4) Era Orde Baru, tahun 1966 - 1998.
5) Era reformasi, tahun 1998 - Sekarang.
A. Era Kolonial ( Sampai dengan tahun 1945)
Belanda membuat UU untuk membendung pengaruh pers, antara lain Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Kemudian Haatzai Atekelen, adalah pasal yang memberi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda.
Di Zaman pendudukan Jepang yang totaliter dan fasistis, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya tetapi melalui organisasi keagamaan, pendidikan, politik, sebab kehidupan pers pada zaman Jepang sangat tertekan.
Beberapa hari setelah teks proklamasi dikumandangan oleh Bung Karno, telah terjadi perebutan terhadap perusahaan Koran Jepang, seperti Soeara Asia di Surabaya, Tjahaja di Bandung, dan Sinar Baroe di semarang. Koran-koran tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat berita sekitar Kemerdekaan Indonesia, Teks Proklamasi, Pembukaan UUD, Lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Koran dijadikan alat mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, walaupun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang.
B. Era Demokrasi Liberal (1945 – 1959)
Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan “Setiap orang bethak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan lokal terhadap pers Belanda dan Cina, oleh karena itu Negara mencari cara untuk membatasi penerbitan asing di Indonesia, sebab pemerintah tidak ingin membiarkan ideologi asing merongrong UUD, sehingga pemerintah mengadakan pembreidelan pers namun tidak hanya kepada pers asing saja.
Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
C. Era Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Beberapa hari setelah Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan penekanan pers terus berlangsung, yaitu penutupan Kantor Berita PIA, Surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Upaya dalam membatasi kebebasan pers tercermin dalam pidato Menteri Muda Penerangan yaitu Maladi dalam sambutan ketika HUT Kemerdekaan RI ke – 14, menyatakan “…Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan Negara, kepentingan bangsa, moral, dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME”.
Pada awal tahun 1960, penekanan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi, bahwa akan dilakukan langkah-langkah tegas terhadap surat kabar, majalah-majalah, kantor-kantor berita yang tidak mentaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Para wartawan harus mendukung politik pemerintah dan pengambialihan percetakan oleh pemerintah.
D. Era Orde Baru ( 1966 – 1998)
Pemerintahn Orde Baru mencetuskan Pers Pancasila dengan membuang jauh praktik penekanan pers di masa Orde Lama. Pemerintah orde baru sangat mementingkan pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), yang dimaksud Pers Pancasila , adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat Pers Pancasila, adalah pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, kontrol sosial yang konstruktif.
Kebebasan ini di dukung dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966, yang menjamin tidak ada sensor dan pembreidelan dan setiap warga Negara punya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasn pers ini hanya berlangsung sekitar 8 tahun, sebab dengan terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974) disinyalir disebabkan berita-berita yang terlalu bebas tanpa sensor yang menyiarkan berbagai hal yang dapat menyulut emosi mahasiswa untuk melakukan demontrasi pada pemerintah orde baru. Oleh karena itu beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas dan di ijinkan terbit kembali setelah permintaan maaf. Para wartawan diingatkan untuk mentaati kode etik jurnalistik.
Pers setelah peristiwa malari cenderung pers yang mewakili penguasa, pemerintah atau Negara, pers tidak menjaankan fungsi kontrol sosialnya dengan kritis, mirip dengan di masa demokrasi terpimpin, hanya bedanya di masa Orde Baru, pers dipandang sebagai institusi politik yang harus diatur dan dikontrol.
E. Era reformasi (1998 – sekarang )
Kalangan pers dapat bernafas lega ketika di era reformasi ini mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU pers tersebut dijamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara (pasal 4). Jadi tidak perlu surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dalam UU ini juga dijamin tidak ada penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana bunyi pasal 4 (ayat 2).
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak, yaitu wartawan utuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Tujuan Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak itu dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi hak tolak tidak berlaku atau dapat dibatalkan demi keamanan, keselamatan Negara, atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan, seperti teroris, pemberontak, penjahat, dll.
Dengan adanya kebebasnan pers maka tantangan terberat adalah datang dari kebebasan pers itu sendiri, artinya sanggupkah seorang wartawan atau sebuah perusahaan penerbitan untuk tidak menodai arti kebebasan itu dengan tidak menerima pemberian atau godaan-godaan material yang berhubungan dengan sebuah berita atau publikasi sebuah berita.
comment 0 comments
more_vert